Memprihatinkan jika mencermati Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Boyolali yang lupa induk organisasinya, yaitu Korps Pegawai Negeri (Korpri). Meskipun ada Korpri, tetapi yang eksis justru organisasi paguyuban PNS di tiap kecamatan dan kini menjurus pada indikasi pungutan liar.
Ironisnya, indikasi pungutan liar di paguyuban PNS justru dilegitimasi seorang Ketua Umum Korpri yang juga Sekda Kabupaten Boyolali. (Solopos, 18/01)
Dalam pandangan penulis, birokrasi Boyolali sudah abnormal. Jika pun ada PNS yang normal (baca: baik), itu pun jumlahnya hanya sedikit dan tidak dapat berbuat apa pun untuk menegakkan aturan. Keberadaan Korpri sebagai wadah profesional birokrasi telah mengalami mati suri.
Bahkan, adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa Korps dan Kode Etik PNS tidak berfungsi di Boyolali. Birokrasi Boyolali rela menukar harga diri dengan jabatan demi sesuap nasi.
Bagi birokrasi yang masih memiliki nurani harus siap tersingkir kena gelombang mutasi. Birokrasi yang baik, tentu harus taat dan siap dipindah tugas, meski harus menempuh jarak lebih jauh dari tempat tinggalnya. Untuk itulah, birokrasi yang baik harus bersiap mental agar tidak terkejut tatkala mutasi menimpanya.
Realitas mutasi yang mengakibatkan Sekretaris Desa (Sekdes) Talakbroto Simo meninggal dunia, menjadi pelajaran berharga bila masih ada PNS baik, namun diperlakukan tidak baik. (Solopos, 20/01)
Disfungsi Birokrasi
Untuk birokrasi Boyolali yang terlanjur masuk pusaran “neraka” politik, menjadi lupa bahwa PNS merupakan pengabdi negara, bukan abdi kekuasaan. Birokrasi Boyolali tidak lagi berpikir bagaimana melayani rakyat, tetapi berubah menjadi pelayan kekuasaan.
Demi posisi birokrasi, berbagai aturan berani diterjang guna melayani kekuasaan agar tidak kehilangan jabatan. Akibatnya, transaksi birokrasi menjadi tradisi di Boyolali.
Demoralisasi birokrasi Boyolali telah melebihi batas nisbi. Birokrasi Boyolali telah dikendalikan “penyamun demokrasi” yang mengatasnamakan diri sebagai sesepuh Boyolali. Keberadaan “penyamun demokrasi” ini telah merusak tatanan birokrasi yang memiliki jenjang berdasarkan prestasi, bukan karena berani transaksi untuk setor komisi. Adalah wajar andaikan slogan “Boyolali Pro Investasi” kini berubah menjadi “Boyolali Pro Komisi”.
Tanpa disadari, birokrasi Boyolali menjadi mesin pencetak komisi. Budaya jual beli jabatan semakin menggurita, bahkan terklasifikasi antara lahan “basah” dan “kering”. Keberadaan jabatan birokrasi sebagai alat investasi mencari laba pribadi melalui komisi. Yang lebih mencengangkan adalah birokrasi mulai memainkan manipulasi dan memotong dana sebagai tindakan menjurus korupsi.
Ironisnya, birokrasi Boyolali banyak buta regulasi karena memang telah di-design penguasa melalui cara penataan jabatan yang tidak sesuai kompetensi. Penguasa Boyolali tidak ingin mencari pejabat pintar, tetapi pejabat yang selalu taat perintah.
Pejabat birokrasi yang disayang Bupati Boyolali adalah yang mau diatur penguasa dan yang sangat takut kehilangan jabatannya. Harapan penguasa kepada pejabat birokrasi hanyalah satu, yakni bersedia menjalankan apa saja demi ambisi kekuasaannya.
Artinya, birokrasi Boyolali memang sengaja dicetak menjadi robot administrasi. Para birokrasi Boyolali jadi pesuruh penguasa sebagai pemberi label prosedural tanpa diberi kuasa melakukan telaah program kerja sebagaimana lazim seorang abdi Negara. Tanpa prosedur jelas, birokrasi Boyolali dipaksa taat perintah “penyamun demokrasi” yang senantiasa mengatasnamakan kekuasaan formal.
Profesionalisme birokrasi Boyolali memang semakin jauh dari panggang api saat ini. Fungsi birokrasi sebagai pelayan publik, kini berbalik arah menjadi pelayan politik. Skenario melemahkan lembaga birokrasi Boyolali benar-benar terjadi dan kini sudah tidak punya daya. Birokrasi Boyolali hanya sebagai pesuruh kekuasaan “jalanan” yang realitasnya tidak berada pada ranah kekuasaan formal. Disfungsi birokrasi kini menjadi realitas yang memprihatinkan bagi masa depan Boyolali.
Birokrasi Mbagusi
Darurat birokrasi Boyolali terjadi karena ada pembajakan terhadap organisasi Korpri. Lahirnya organisasi Korpri “jalanan” Boyolali bernama paguyuban PNS yang terbentuk tiap kecamatan telah dibelokkan.
Paguyuban ini dijadikan alat para “penyamun demokrasi” untuk memobilisasi birokrasi agar terlibat politik praktis. Sungguh sangat tragis nasib birokrasi Boyolali saat ini karena organisasi Korpri justru tidak pernah memberikan perlindungan diri bagi anggotanya.
Anehnya, birokrasi Boyolali tidak pernah mau minta pertanggungjawaban Korpri Boyolali. Korpri Boyolali hampir tidak mempunyai solidaritas dan rasa kesetiakawanan terhadap korban mutasi.
Korpri Boyolali yang mestinya menjadi tempat berlindung, tempat untuk membangun jiwa korsa sesama anggota, kini tak pernah ada lagi. Korpri Boyolali benar-benar menjadi organisasi birokrasi yang sudah tidak lagi memiliki harga diri karena mudah dipolitisasi.
Kini, birokrasi Boyolali menjadi liar dan masing-masing ingin tampil mbagusi. Dalam bahasa jawanya, kata mbagusi atau kemlinthi menjadi istilah masih belajar, tetapi sudah berlagak lebih hebat dari seniornya.
Ironisnya, kini birokrasi Boyolali memainkan peran mbagusi. Korpri sengaja diredupkan penguasa Boyolali, tetapi digantikan paguyuban birokrasi misal Baladewa Teras, Brotoseno Banyudono, Wijoyo Kusumo Simo, atau lainnya.
Sikap mbagusi birokrasi ini dengan tidak melawan hegemoni kekuasaan “tangan besi” penguasa tetapi jutru nyaman di dalam. Mereka tahu dan paham aturan, namun tetap larut arus yang bertentangan dengan kewajiban dan keinginan dirinya.
Paguyuban birokrasi Boyolali tampil mbagusi mengikuti kebijakan arogan Bupati Boyolali karena takut dianggap tidak loyal dan bukan tidak mungkin takut dianggap sebagai penghianat.
Sikap mbagusi birokrasi Boyolali yang berlebihan adalah rela melakukan apa pun yang diinginkan orang “luar” dari kekuasaan. Bahkan, birokrasi Boyolali yang mbagusi ini bersedia melakukan tindakan menjurus ranah korupsi, manipulasi dan intimidasi politik, baik ke sesama birokrasi yang tidak sejalan maupun ke rakyat. Birokrasi yang mbagusi ini menjadi mesin politik untuk mendapat suara maksimal di setiap tempat tinggalnya.
Birokrasi yang sudah terbeli, nasib sial senantiasa menanti dan akan menjadi sosok birokrasi yang mbagusi dan akan terus dipolitisasi. Bahkan, harga diri dari pejabat birokrasimbagusi sangatlah rendah karena mau menjadi sapi perah dan pesuruh politisi bukan abdi Negara. Jujur, penulis pun tidak tahu kapan birokrasi mbagusi ini berakhir atau mereka tetap ada dalam “neraka politisasi” di Boyolali.