Rabu, 06 November 2013

MOMENTUM REFORMASI BIROKRASI KORPRI


MOMENTUM REFORMASI BIROKRASI KORPRI

ditulis oleh : Tegus Santoso Apriyanto

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat identik dengan biaya mahal, wajah pegawai yang tidak ramah, waktu yang lama, alur kerja yang tidak jelas, penyelesaian tidak tepat waktu dan penyakit akut “korupsi”. Apalagi ditambah dengan carut marutnya masalah “cicak vs buaya” yang notebene semuanya yang berkerja di dalam KPK, Polisi dan Kejaksaan adalah bagian dari keluarga besar KORPRI itu sendiri.
Keinginan masyarakat untuk memperoleh pelayanan semaksimal mungkin dari birokrasi dijawab pemerintah dengan meluncurkan reformasi birokrasi . Menurut Drs. Taufik Effendi mantan MenegPAN, reformasi birokrasi sebenarnya diarahkan untuk mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi secara berkelanjutan. Selain itu juga menciptakan menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN.

Sebenarnya amanat Presiden SBY pada pembukaan Rakornas-PAN 2005 di Istana Negara, 15 November 2005, sudah jelas. Dalam amanatnya, SBY menyatakan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara terus menerus dan penegakkan serta penerapan prinsip-prinsip good governance. Disamping itu juga berupa peningkatan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang prima termasuk pemberantasan korupsi sekarang juga mulai dari diri sendiri dan menghindari perbuatan tindak pidana korupsi.

Terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, telah ada UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.  Di dalam pasal 18 dinyatakan bahwa masyarakat berhak untuk mengetahui kebenaran isi standar pelayanan, mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan, memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, memberitahukan kepada Pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan,  mengadukan Pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada Penyelenggara dan ombudsman, mengadukan Penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina Penyelenggara dan ombudsman, dan mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.

Kita juga menyadari  di dalam tubuh KORPRI sendiri terdapat penyakit birokrasi yang kronis yang menyebabkan KORPRI tidak sanggup bekerja secara maksimal melayani masyarakat. Menurut Prof Eko Saharjo Guru Besar Universitas Indonesia ada empat sumber penyakit birokrasi, yaitu kentalnya budaya menguasai bukan melayani publik dalam birokrasi, ketidakmampuan melayani dalam birokrasi karena proses penerimaan pegawai dilakukan dengan cara-cara tidak profesional dan sarat kepentingan, rusaknya moral dalam birokrasi yang selalu berpikir mendapatkan uang dari proyek-proyek yang dilakukan, dan partai politik menganggap birokrasi sebagai sumber uang (Kompas, 1 Juli 2009). Semua itu adalah gambaran nyata betapa tubuh besar KORPRI sangat rapuh menerima tekanan uang dan termasuk syahwat kekuasaan atau politik. Meskipun harus diakui bahwa KORPRI mulai era reformasi telah  melepaskan diri dari monoloyalitas politik dan bersikap independen. KORPRI membebaskan warganya untuk memilih pilihan politiknya sendiri.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan untuk menuju reformasi birokrasi? Menurut mantan anggota KPK, Ery Riana Hardjapmekas, dalam makalahnya “Refomasi Birokrasi: Tantangan dan Peluang”, ia menyampaikan beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi secara total. Pertama secara internal berupa pelurusan orientasi, memperkuat komitmen, membangun kultur baru, rasionalisasi, memperkuat payung hukum dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Sedangkan yang kedua adalah melalui langkah eksternal berupa komitmen dan keteladanan elit politik dan pengawasan masyarakat.  Kita menyadari, bahwa kultur bangsa ini sangat menjunjung keteladanan.

Jika itu yang kita teladani, maka reformasi birokrasi tidak hanya ada dimulut atau slogan semata, tapi bisa dinikmati masyarakat. Karena sesungguhnya, masyarakatlah yang berkepentingan dengan suksesnya reformasi birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar