Pengadilan: Korpri adalah Serikat Pekerja di BUMN
Konsekuensinya pengusaha tidak wajib berikan tunjangan pada pengurus Korpri.
Ady
Tahun
2012 bagi pekerja PT Askes (Persero) Itop Reptianto mungkin menjadi
tahun perjuangan, bisa jadi cukup melelahkan. Pasalnya pada awal tahun,
majelis hakim di PHI Jakarta tidak mengabulkan gugatannya mengenai
perselisihan hak.
Selain itu, seperti telah diberitakan sebelumnya, Itop juga di-PHK
dan mulai berlaku di awal tahun ini. Walau begitu ia akan terus
melakukan upaya hukum lanjutan untuk mendapatkan hak yang menurutnya
telah dirampas.
Perkara
itu berawal ketika Itop dimutasi dari jabatannya sebagai Sekretaris
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) PT Askes (Persero) menjadi
Kepala Bidang Umum pada kantor Regional XI.
Lewat
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Itop mengajukan gugatan
menolak mutasi. Dia juga menuntut agar pihak manajemen membayar
tunjangan jabatan Sekretaris Korpri yang ia nilai setara pejabat
Struktural Eselon II. Tunjangan itu harusnya dibayar sejak awal Itop
ditunjuk oleh Direksi menjabat Sekretaris Korpri, nominalnya sekitar Rp3
juta/bulan. Tapi dia merasa hal itu tidak dilakukan pihak manajemen.
Atas dasar
itu, majelis menilai bahwa objek perselisihan dalam perkara bernomer
197/PHI.G/2011/PN.JKT.PST ini tentang pembayaran tunjangan jabatan dan
penolakan mutasi. Majelis terdiri dari hakim ketua Achmad Rivai
beranggotakan Juanda Pangaribuan dan Sri Razziyati Ischaya.
Majelis
hakim tak sependapat dengan Itop. Melalui putusannya, hakim menyatakan
tak ada satu ketentuan pun dari Anggaran Dasar Korpri yang menyatakan
bahwa jabatan Sekretaris Korpri di tingkat perusahaan selevel dengan
jabatan eselon II. Anggaran Dasar Korpri ini terakhir disahkan melalui
Keputusan Presiden No 24 Tahun 2010.
Dalam
perkara ini, majelis menilai jabatan Sekretaris Korpri merupakan jabatan
rangkap dan dalam Anggaran Dasar Korpri tidak mengharuskan perusahaan
BUMN memberi tunjangan jabatan baru kepada Sekretaris Korpri.
Itop,
menurut majelis, juga tak bisa berlindung di balik Peraturan Kepala
Badan Kepegawaian Negara No 19 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/13/M.Pan/5/2008 yang intinya
mengatur perihal tunjangan jabatan. Sebab, majelis menyebutkan dua
ketentuan itu berlaku untuk anggota Korpri yang berlatarbelakang pegawai
negeri sipil (PNS). Sedangkan Itop adalah pegawai BUMN dan bukan PNS
sehingga harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
Karena
tidak ada ketentuan yang mengharuskan pihak manajemen memberi tunjangan
jabatan Sekretaris Korpri maka Majelis menganggap tuntutan Itop atas
tunjangan Rp3 Juta tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Selain
itu, majelis menyimpulkan bahwa Korpri adalah organisasi pekerja BUMN
yang fungsi dan kedudukannya sama dengan serikat pekerja. Hakim merujuk
pada konsiderans Keputusan Presiden (Keppres) No 24 Tahun 2010 tentang
Pengesahan AD Korpri, UU Serikat Pekerja dan UU Ketenagakerjaan.
Karena
dalam UU Serikat Pekerja dan UU Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban
pengusaha membayar tunjangan jabatan kepada pengurus serikat pekerja,
maka majelis memandang bahwa Korpri sebagai serikat pekerja tidak boleh
tampil beda dengan serikat pekerja lainnya. Sehingga majelis menilai
tidak logis jika AD serikat pekerja mengatur kewajiban pengusaha
membayar tunjangan jabatan kepada pengurus serikat pekerja.
Soal
kebijakan perusahaan memutasi Itop dari jabatan Sekretaris Korpri, hakim
juga punya pertimbangan hukum sendiri. Majelis menilai Itop merangkap
jabatan organisasi pekerja yaitu Sekretaris Korpri dan Ketua Serikat
Karyawan PT Askes (SKASI). Sementara pasal 14 ayat (1) UU Serikat
Pekerja melarang seorang pekerja terdaftar sebagai anggota lebih dari
satu serikat pekerja. Atas dasar itu majelis menilai tuntutan Itop untuk
ditempatkan kembali sebagai Sekretaris Korpri PT Askes (Persero) tidak
beralasan hukum.
Lebih jauh
majelis juga berpendapat pengurus serikat pekerja bisa dimutasi
sepanjang melewati prosedur yang berlaku dan sesuai dengan kebutuhan
nyata perusahaan. Oleh karenanya majelis menyebut dalam mengatasi dampak
dari suatu mutasi, serikat pekerja harus memiliki mekanisme untuk
menjaga keberlangsungan organisasi. Sehingga mutasi yang dilakukan
secara sah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
“Mengadili. Dalam pokok perkara. Satu, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” ujar hakim ketua Achmad Rivai membaca amar putusan awal Januari lalu.
Kuasa
hukum Itop, Saepul Tavip menilai majelis tidak mencermati perkara dengan
teliti dan kurang memperhatikan bukti yang diajukan. Mengenai tunjangan
jabatan Sekretaris Korpri misalnya. Bagi Tavip, mengacu Keppres No 24
Tahun 2010 tentang AD Korpri jabatan itu harus mendapat tunjangan
jabatan. Pasalnya, jabatan itu bentuknya struktural dan bersifat penuh
waktu, bukan ex officio.
Tavip
menolak pendapat majelis yang menyatakan bahwa Korpri sama seperti
Serikat Pekerja, karena Korpri tidak dicatatkan di instansi
ketenagakerjaan. Selain itu Tavip juga bertutur bahwa majelis tidak
melihat bukti yang telah diajukan mengenai adanya intervensi dari pihak
manajemen agar Itop mundur dari Ketua SKASI. Sedangkan mutasi yang
dilakukan terhadap Itop sebagai bentuk dari pembatasan hak berserikat,
tukasnya.
“Ada upaya
secara terencana dan sistematis (pihak manajemen,--red) berusaha
membatasi ruang gerak pekerja PT.Askes dalam berserikat,” ujar Tavip
yang juga Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) kepada hukumonline usai mendaftarkan memori kasasi di PHI Jakarta, Jumat (10/2).
Terpisah,
ketika ditanya mengenai kasasi yang diajukan pihak pekerja, salah satu
kuasa hukum pihak manajemen Ida Jaka mengatakan itu adalah hak dari para
pihak yang berperkara, khususnya pihak pekerja. Dia juga mengaku bahwa
dirinya sampai saat ini belum mendapat salinan putusan perkara ini.
Mengenai
putusan majelis Jaka sepakat dengan putusan majelis yang berpendapat
bahwa Korpri dapat dikatakan sebagai Serikat Pekerja. Menurutnya kedua
organisasi pekerja itu tidak banyak perbedaan. Sehingga perusahaan tidak
wajib memberi tunjangan kepada pengurus Serikat Pekerja atau Korpri.
“Namanya saja yang berbeda, tapi sama,” pungkasnya kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (15/2).
Sumber : Hukum Online.com
2012 bagi pekerja PT Askes (Persero) Itop Reptianto mungkin menjadi
tahun perjuangan, bisa jadi cukup melelahkan. Pasalnya pada awal tahun,
majelis hakim di PHI Jakarta tidak mengabulkan gugatannya mengenai
perselisihan hak.
Selain itu, seperti telah diberitakan sebelumnya, Itop juga di-PHK
dan mulai berlaku di awal tahun ini. Walau begitu ia akan terus
melakukan upaya hukum lanjutan untuk mendapatkan hak yang menurutnya
telah dirampas.
Perkara
itu berawal ketika Itop dimutasi dari jabatannya sebagai Sekretaris
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) PT Askes (Persero) menjadi
Kepala Bidang Umum pada kantor Regional XI.
Lewat
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Itop mengajukan gugatan
menolak mutasi. Dia juga menuntut agar pihak manajemen membayar
tunjangan jabatan Sekretaris Korpri yang ia nilai setara pejabat
Struktural Eselon II. Tunjangan itu harusnya dibayar sejak awal Itop
ditunjuk oleh Direksi menjabat Sekretaris Korpri, nominalnya sekitar Rp3
juta/bulan. Tapi dia merasa hal itu tidak dilakukan pihak manajemen.
Atas dasar
itu, majelis menilai bahwa objek perselisihan dalam perkara bernomer
197/PHI.G/2011/PN.JKT.PST ini tentang pembayaran tunjangan jabatan dan
penolakan mutasi. Majelis terdiri dari hakim ketua Achmad Rivai
beranggotakan Juanda Pangaribuan dan Sri Razziyati Ischaya.
Majelis
hakim tak sependapat dengan Itop. Melalui putusannya, hakim menyatakan
tak ada satu ketentuan pun dari Anggaran Dasar Korpri yang menyatakan
bahwa jabatan Sekretaris Korpri di tingkat perusahaan selevel dengan
jabatan eselon II. Anggaran Dasar Korpri ini terakhir disahkan melalui
Keputusan Presiden No 24 Tahun 2010.
Dalam
perkara ini, majelis menilai jabatan Sekretaris Korpri merupakan jabatan
rangkap dan dalam Anggaran Dasar Korpri tidak mengharuskan perusahaan
BUMN memberi tunjangan jabatan baru kepada Sekretaris Korpri.
Itop,
menurut majelis, juga tak bisa berlindung di balik Peraturan Kepala
Badan Kepegawaian Negara No 19 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara No.Per/13/M.Pan/5/2008 yang intinya
mengatur perihal tunjangan jabatan. Sebab, majelis menyebutkan dua
ketentuan itu berlaku untuk anggota Korpri yang berlatarbelakang pegawai
negeri sipil (PNS). Sedangkan Itop adalah pegawai BUMN dan bukan PNS
sehingga harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
Karena
tidak ada ketentuan yang mengharuskan pihak manajemen memberi tunjangan
jabatan Sekretaris Korpri maka Majelis menganggap tuntutan Itop atas
tunjangan Rp3 Juta tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Selain
itu, majelis menyimpulkan bahwa Korpri adalah organisasi pekerja BUMN
yang fungsi dan kedudukannya sama dengan serikat pekerja. Hakim merujuk
pada konsiderans Keputusan Presiden (Keppres) No 24 Tahun 2010 tentang
Pengesahan AD Korpri, UU Serikat Pekerja dan UU Ketenagakerjaan.
Karena
dalam UU Serikat Pekerja dan UU Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban
pengusaha membayar tunjangan jabatan kepada pengurus serikat pekerja,
maka majelis memandang bahwa Korpri sebagai serikat pekerja tidak boleh
tampil beda dengan serikat pekerja lainnya. Sehingga majelis menilai
tidak logis jika AD serikat pekerja mengatur kewajiban pengusaha
membayar tunjangan jabatan kepada pengurus serikat pekerja.
Soal
kebijakan perusahaan memutasi Itop dari jabatan Sekretaris Korpri, hakim
juga punya pertimbangan hukum sendiri. Majelis menilai Itop merangkap
jabatan organisasi pekerja yaitu Sekretaris Korpri dan Ketua Serikat
Karyawan PT Askes (SKASI). Sementara pasal 14 ayat (1) UU Serikat
Pekerja melarang seorang pekerja terdaftar sebagai anggota lebih dari
satu serikat pekerja. Atas dasar itu majelis menilai tuntutan Itop untuk
ditempatkan kembali sebagai Sekretaris Korpri PT Askes (Persero) tidak
beralasan hukum.
Lebih jauh
majelis juga berpendapat pengurus serikat pekerja bisa dimutasi
sepanjang melewati prosedur yang berlaku dan sesuai dengan kebutuhan
nyata perusahaan. Oleh karenanya majelis menyebut dalam mengatasi dampak
dari suatu mutasi, serikat pekerja harus memiliki mekanisme untuk
menjaga keberlangsungan organisasi. Sehingga mutasi yang dilakukan
secara sah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
“Mengadili. Dalam pokok perkara. Satu, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” ujar hakim ketua Achmad Rivai membaca amar putusan awal Januari lalu.
Kuasa
hukum Itop, Saepul Tavip menilai majelis tidak mencermati perkara dengan
teliti dan kurang memperhatikan bukti yang diajukan. Mengenai tunjangan
jabatan Sekretaris Korpri misalnya. Bagi Tavip, mengacu Keppres No 24
Tahun 2010 tentang AD Korpri jabatan itu harus mendapat tunjangan
jabatan. Pasalnya, jabatan itu bentuknya struktural dan bersifat penuh
waktu, bukan ex officio.
Tavip
menolak pendapat majelis yang menyatakan bahwa Korpri sama seperti
Serikat Pekerja, karena Korpri tidak dicatatkan di instansi
ketenagakerjaan. Selain itu Tavip juga bertutur bahwa majelis tidak
melihat bukti yang telah diajukan mengenai adanya intervensi dari pihak
manajemen agar Itop mundur dari Ketua SKASI. Sedangkan mutasi yang
dilakukan terhadap Itop sebagai bentuk dari pembatasan hak berserikat,
tukasnya.
“Ada upaya
secara terencana dan sistematis (pihak manajemen,--red) berusaha
membatasi ruang gerak pekerja PT.Askes dalam berserikat,” ujar Tavip
yang juga Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) kepada hukumonline usai mendaftarkan memori kasasi di PHI Jakarta, Jumat (10/2).
Terpisah,
ketika ditanya mengenai kasasi yang diajukan pihak pekerja, salah satu
kuasa hukum pihak manajemen Ida Jaka mengatakan itu adalah hak dari para
pihak yang berperkara, khususnya pihak pekerja. Dia juga mengaku bahwa
dirinya sampai saat ini belum mendapat salinan putusan perkara ini.
Mengenai
putusan majelis Jaka sepakat dengan putusan majelis yang berpendapat
bahwa Korpri dapat dikatakan sebagai Serikat Pekerja. Menurutnya kedua
organisasi pekerja itu tidak banyak perbedaan. Sehingga perusahaan tidak
wajib memberi tunjangan kepada pengurus Serikat Pekerja atau Korpri.
“Namanya saja yang berbeda, tapi sama,” pungkasnya kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (15/2).
Sumber : Hukum Online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar